Keris Pusaka Minangkabau: Suatu Kajian Fungsi, Unsur Visual dan Makna (Bagian 1)

Home - Keris Pusaka Minangkabau: Suatu Kajian Fungsi, Unsur Visual dan Makna (Bagian 1)

Latar Belakang

Banyak pakar kebudayaan mengatakan bahwa percepatan perkembangan budaya suatu etnik tidak terlepas dari persentuhannya dengan etnik atau bangsa lain. Kadangkala percepatan itu membawa dampak positif dalam arti dapat menumbuhkembangkan budaya yang sudah dimiliki sebelumnya. Namun, tidak sedikit pula yang berdampak negatif terhadap budaya asli itu sendiri. Budaya asli bahkan dapat hilang, sehingga yang mengemuka adalah unsur budaya luar asing yang baru. Gejala seperti ini dapat terjadi pada budaya Minangkabau (lihat, tulisan Mursal Esten).

Kecenderungan ini jelas terlihat pada masa belakangan ini, dimana yang lebih menonjol adalah unsur yang datang dari luar itu. Tentu saja hal seperti ini tak diinginkan. Yang diharapkan adalah budaya asli tetap menonjol dan tidak hilang, sedangkan budaya baru yang baik dapat menyempurnakan yang asli itu. Kita dapat melihat banyak warisan budaya lama, yaitu karya-karya monumental peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia yang mengagumkan dan masih terpelihara, dan hal itu tentu berguna untuk generasi penerus untuk sebagai bukti sejarah bangsa dan budaya.

Kondisi ini tak terkecuali juga berlaku bagi budaya dan sejarah keminangkabauan sebagai salah satu di antara banyak budaya yang ada di Nusantara. Jauh-jauh hari, para pencetus adatnya telah menduga terjadinya perubahan budaya akibat persentuhannya dengan kebudayaan luar (dalam dan luar Nusantara), yang terumus dari salah satu mamangan adat Minang yang mengatakan: “sakali aia gadang, sakali tapian barubah” (sekali terjadi banjir, daerah tepian mandipun akan berubah). Perubahan itu sendiri merupakan suatu hal yang wajar terjadi dan adalah sebuah hukum alam, bahwa alam itu dapat mengalami perubahan. Namun, la dikatakan tidak wajar jika budaya lama itu dihilangkan dari sejarah, artinya telah tercerabut dari akar budaya yang telah ada.

Minangkabau itu etnis atau Budaya? Minangkabau itu bukan etnis tetapi budaya. Bagian titik-titik merah dari peta ini adalah situs-situs yang mengandung artefak peninggalan purba sampai zaman Hindu. (Lihat. Tulisan Rusli Amran, Sumatera Barat Plakat Panjang).

Tambo Minangkabau sering digugat dan tidak dipercaya bahwa asal orang Minang itu dari nagari Pariangan. Menurut penelitian kebahasaan oleh Herwandi dan Nadra, menganggap asal orang Minang yang benar adalah dari Luhak Lima Puluh Kota (lihat penelitian Herwandi, Nadra dalam buku "Menggugat Minangkabau" (2006). Penerbit Andalas University Press.).

Penelitian lain dapat membuktikan bahwa Minangkabau itu bukan berasal dari satu etnis, tetapi beragam etnis. Bagaimanapun etnis Tamil (orang “kaliang”) bhs. Minang (Keling: Indonesia), dan atau rumpun Dravida dari India Selatan, adalah salah satu pembentuk budaya Minang (lih. Novelia Musda: 2011) yang juga membandingkan budaya dan bahasa tiga rumpun besar orang Tamil yaitu:Tulu, Malayalam, dan Tamil. Dapat dibandingkan tata adat marumakkatayam (Tamil) dengan sistem matrilineal Minangkabau sangat banyak persamaannya.

Demikian juga dengan silat Karalippayat dengan silat Minang (silahkan lihat videonya di internet atau Youtube). Tabuik (Tabut) Pariaman juga pengaruh Tamil yang beragama Islam lebih kemudian. Dibawa oleh tentara Inggris etnis Tamil ke kawasan ini. Kalau kita perhatikan adat meminang dengan membeli laki-laki di Piaman juga pengaruh Tamil ini, sebab adat ini tidak ada di tempat lain di Minangkabau. Bahasa Minang juga cepat berubah, bahasa minang yang terpakai sekarang dasarnya adalah bahasa pergaulan Sekolah Raja di Bukittinggi seabad yang lalu, bahasa asli Bukittinggi dulunya tidak seperti itu, dulunya mirip dengan bahasa daerah-daerah terisolir seperti luhak 50 Kota yang masih memendam bahasa lama.(Novia Musda adalah Alumnus Islamic Studies, Universitet Leiden, Belanda, (sumber: SK. Singgalang, Senin 31 Januari, 2011).

Alasan lain coba lihat peta di atas

Dari peta ini terlihat bahwa jalur masuk masuk ke Sumatera Barat bukan hanya dari sungai Kampar Kanan (menuju 50 Kota), tetapi juga dari sungai Rokan, batang Kuantan dan Sungai Batanghari (tiga sungai terbesar) di kawasan ini. Batang Kuantan adalah yang terpenting, disamping Batanghari. Sebab batang Kuantan menyambung ke batang Ombilin dan batang Bengkawas (hulu sungai).

Di hulu batang bengkawas ini lokasi Pariangan (yang dianggap sebagai asal nenek moyang dalam Tambo). Bahwa tempat ini adalah asal etnik Minangkabau mungkin salah. Bahwa sisa-sisa bahasa kuno Minang terdapat di Luhak Limapuluh Kota mungkin benar. Tetapi dapat dipertanyakan apakah budaya minang yang asli (sistem matriarchat) asalnya dari sana. Jawabnya mungkin tidak.

Banyak ahli yang percaya bahwa hanya komunitas-komunitas pertama di sehiliran Batang Bengkawas (termasuk Pariangan) adalah komunitas pertama merumuskan budaya Minangkabau, yang kemudian tatacara adat ini mempengaruhi komunitas lain yang telah ada, dan mereka juga membawa teknologi pertanian padi (yang tidak mungkin muncul begitu saja di lokasi ini). Teknologi pertanian padi di daerah lereng gunung juga di kenal di India Selatan. Dan yang terpenting dari itu semua adalah sebuah kenyataan bahwa budaya Minang itu adalah budaya yang muncul di zaman Hindu-Budha. Bukan sebelumnya.

Misalnya, pada awalnya suku dirumuskan hanya dua yaitu Bodichaniago pengaruh ajaran Budhis dan Kotopiliang (ajaran kasta Hindu), ajaran ini kemudian menjadi sistem kelarasan, yang dipecah jadi empat suku yaitu Bodi, Caniago, Koto dan Piliang. Karena kedua sistem kelarasan (partai) ini sering bentrok, maka muncul kelarasan ketiga yang disebut Lareh Nan Panjang sebagai penengah ( yaitu yang dianut oleh suku-suku di sehiliran Batang Bengkawas) yang pusatnya di Pariangan. Lihat peta lokasi Batang Bengkawas ini) dan lokasi Pariangan, yang dekat dengan nagari parianganpadangpanjang.Mengenai hal ini lihat juga tentang dualisme antara Koto Piliang dan Bodichaniago, Tetapi kenapa sekarang ada 92 suku di Minangkabau ?.

Penambahan suku ini sesuai dengan etnis yang masuk ke Minangkabau, dan juga pecahan dari suku-suku yang ada. Dahulunya pecahan suku ini masuk kepada kedua sistem kelarasan ini. Misalnya orang Jawa dari Solo di zaman Pagaruyung di beri nama suku “Sala” (baca buku A.A. Navis: Alam Terkembang Jadi Guru).

Untuk mendukung asumsi pengaruh India Selatan ini, misalnya di hulu Sungai Rokan, adalah komunitas yang kita kenal sekarang dengan Batak Mandailing mereka tidak ragu mengatakan bahwa budaya dan nenek moyangnya berasal dari India/Hindu, yang pada awalnya mirip dengan negeri asalnya lihat. http://patuandolok.blogspot.com/2010/02/karya-buku-kebudayaan-mandailing.html. Yang dicari mereka ke sini adalah emas dan rempah-rempah.

Banyak bukti bahwa artefak budaya Minangkabau yang memperlihatkan pengaruh Hindu/ India, tetapi bukan untuk menjadi Hindu. Cikal bakal budaya asing itu menjadi budaya Minang yang kita kenal sekarang.

Untuk tidak salah pengertian, budaya purba, atau etnis Melayu tua, seperti Mentawai, Nias atau Kubu yang datang dari Taiwan (Nadra, 2006) sebelumnya. Dan atau yang datang kemudian (Arab, Cina, Barat) bukanlah pembentuk budaya Minang, walaupun sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh unsur asing ini.

Pada zamannya, budaya Minang itu adalah budaya yang kuat, dia menyebar dengan cepat dan mempengaruhi daerah sekelilingnya tanpa kekuatan senjata. Dan ada saatnya dia menjadi muram, saat budaya ini berbenturan dengan kepentingan budaya asing yang lebih kuat. (Sumber peta: Rusli Amran).

Sebagai tambahan, ajaran "alam Takambang Jadi Guru", sebenarnya ajaran yang berasal dari kebudayaan Hindu, yang kemudian diadaptasi oleh budaya Jawa, yang disebut ajaran "Hasta Brata". Bukti sisa-sisa dari ajaran Hasta brata itu terlihat dari sistem simbol yang ada di Minangkabau, misalnya pada penamaan tiang rumah gadang yang disebut "manti nan salapan"(penamaan delapan tiang dalam rumah gadang), pada pidato adat, pada simbol-simbol kosmologi Minangkabau yang asli.

Ajaran hasta brata ini kemudian di minangkan oleh orang minang, hal ini terlihat dari setiap awal pidato adat yang menyebutkan " asa mulo adat nan salapan, duo pai utara (Cina?) duo ka salatan (Jawa?). Maka tinggallah adat minang "nan ampek", yang kemudian di trasformasikan kepada yang serba empat dalam setiap simbol dan kosmologi minang. Misalnya "gonjong nan ampek", kato "nan ampek", nagari nan ampek suku dan seterusnya. Lihat buku karangan penulis: Budaya Visual tradisi Minangbabau" (2009), yang bersumber dari hasil penelitian.

Ajaran hasta brata adalah ajaran tentang "kepemimpinan" yang berasal dari kekuatan alam. Yang kemudian mengalami friksi-friksi sehingga penafsirannya seperti yang kita kenal sekarang. Sebab asal mula konsep ini sebenarnya ajaran Hindu yang polytheisme yang menganggap setiap unsur alam memiliki dewa tersendiri, kemudian terjadi pergeseran makna kepada 8 model kepemimpinan (Jawa), kemudian bergeser lagi maknanya oleh nenek moyang Minangkabau menjadi sistem serba empat yang dikenal sekarang. Artinya orang Minang yang asli akan mengatakan "bukan urang minang kalau indak tahu nan siampek"

Sumber : Nasbahry Gallery